Siapa Yang Memimpin Inggris Saat Ini

tirto.id - Seorang anggota DPR RI Komisi IX dari fraksi PDIP berinisial HM sedang ramai diperbincangkan karena diduga menonton video porno ketika mengikuti rapat di sidang Panitia Kerja (Panja) Vaksin Covid-19 di Gedung DPR.

Menurut berita terbaru, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR akan melakukan pemanggilan terhadap yang bersangkutan.

“Pemanggilan akan dilakukan secepatnya pada kesempatan pertama di masa sidang berikut,” kata Wakil Ketua MKD DPR, Habiburokhman kepada Tirto, Rabu (13/4/2022).

Kasus anggota DPR yang menonton video porno saat rapat juga pernah viral beberapa tahun lalu. Seperti diberitakan Republika pada 2011 lalu, anggota DPR itu adalah Arifinto dari Komisi V dari fraksi PKS.

Kala itu, Arif mengaku difoto oleh fotografer dari Media Indonesia. ia pun langsung meminta maaf. Dulunya, Arif adalah anggota DPR dari Dapil Jawa Barat VII, sedangkan posisinya di Partai Keadilan Sejahtera adalah Komisi Konstitusi dan Legislasi Majelis Pertimbangan Pusat PKS.

Kasus Pejabat Negara Menonton Video Porno

Kasus pejabat negara yang tertangkap menonton video porno dalam situasi resmi juga pernah terjadi di India sekitar tahun 2012.

Seperti dilaporkan Reuters, setidaknya ada tiga politikus India yang pernah tertangkap menonton video porno dalam situasi resmi. Celakanya, tiga orang tersebut berstatus sebagai menteri.

Kala itu, Laxman Savadi yang menjabat sebagai menteri kerja sama negara bagian Karnataka berbagi klip porno dengan temannya CC Patil. Ia adalah menteri pengembangan perempuan dan anak.

Sedangkan pemilik ponselnya adalah Krishna Palemar. Ia adalah menteri negara pelabuhan, sains dan teknologi. Video tersebut mereka tonton saat duduk di majelis negara bagian.

Akhirnya, setelah memicu kemarahan publik, baik dari aktivis hak asasi, kelompok Hindu sayap kanan dan partai Kongres, akhirnya ketiganya pun mengundurkan diri.

“Sungguh meresahkan bahwa orang-orang yang berada di posisi kekuasaan dan memiliki tanggung jawab untuk mengubah keadaan sebenarnya memiliki pola pikir yang sama dan sibuk menonton film porno,” kata Renuka Chowdhary, mantan menteri federal untuk pembangunan perempuan dan anggota Partai Kongres.

Sebab kala itu, anak perempuan dan banyak wanita di India masih menghadapi rentetan ancaman termasuk pemerkosaan, pernikahan paksa, kekerasan dalam rumah tangga, pembunuhan demi kehormatan dan perdagangan manusia.

Penulis: Alexander HaryantoEditor: Iswara N Raditya

Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.

tirto.id - Kasus pembunuhan Jessica Wongso terhadap Mirna Solihin kembali ramai setelah diulas dalam film dokumenter Netflix berjudul "Ice Cold: Murder, Coffe and Jessica Wongso", yang dinilai berbagai pihak menyimpan sejumlah kejanggalan.

Setelah Jessica divonis 20 tahun penjara di tahun 2016, tim kuasa hukum pernah mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Tetapi ditolak Mahkamah Agung pada akhir 2018 lalu.

Kasus ini menuai pro dan kontra. Akan tetapi, Otto Hasibuan, selaku pengacara Jessica, ngotot kalau kliennya tidak bersalah. Atas dasar itu, Otto berencana melakukan PK lagi.

"Saya berencana untuk mengajukan PK," kata Otto ketika diwawancarai Deddy Corbuizer, tayang di YouTube pada 6 Oktober 2023.

"Kita sudah persiapkan untuk itu, dengan harapan tentunya dengan keadaan seperti ini, ada Netflix, ada masyarakat memberikan dukungan, mudah-mudahan hakim agung itu bisa melihat, bahwa ini bisa diperbaiki," lanjut Otto.

Otto menyamakan kasus Jessica dengan perkara Sengkon dan Karta pada 1974.

"Sama dengan kasus Sengkon dan Karta jaman dulu. Dulu lembaga PK itu tidak ada," lanjut Otto Hasibuan.

"Dulu ceritanya Sengkon dan Karta dihukum beberapa tahun karena dituduh membunuh. Tetapi beberapa tahun kemudian, terbukti ada orang yang mengaku membunuh korban yang dibunuh oleh Sengkon."

"Akhirnya bagaimana nasibnya Sengkon dan Karta? Dibuatlah lembaga PK, lembaga peninjauan kembali. Ditinjau kembali kasusnya Sengkon dan Karta," tegasnya.

Kasus Sengkon dan Karta: Cikal Bakal Peninjauan Kembali di Indonesia

Kasus Sengkon dan Karta: Cikal Bakal Peninjauan Kembali di Indonesia

Kasus Sengkon dan Karta terjadi pada tahun 1974. Petani asal Bojongsari, Bekasi itu dituduh menjadi pelaku perampokan dan pembunuhan pasangan suami istri Sulaiman dan Siti Haya.

Sengkon dan Karta sempat mengelak dan tidak mau mengakui sebagai pelaku pembunuhan. Akan tetapi, lantaran tidak kuat dengan siksaan selama interogasi, mereka akhirnya menyerah.

Setelah melewati persidangan pada 1977, hakim menilai Sengkon bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara 12 tahun.

Sedangkan Karta diganjar 7 tahun atas kasus yang sama. Mereka mendekam di penjara LP Cipinang.

Selama menjalani hukuman, Sengkon dan Karta justru bertemu dengan tahanan lain, Gunel dan masih terbilang mempunyai hubungan saudara.

Gunel lalu mengaku sebagai pembunuh Sulaiman dan Siti bersama 3 rekannya (N, E, dan W), hingga menjelaskan kronologi kejadian.

Berangkat dari pengakuan tersebut, Gunel dan kawan-kawan kemudian ditetapkan menjadi pelaku perampokan dan pembunuhan sebenarnya pasangan Sulaeman-Siti Haya. Ia dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.

Atas dasar itu, Sengkon dan Karta lantas mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Mereka resmi bebas pada 4 November 1980, sekaligus menandai adanya sistem PK dalam peradilan di Indonesia.

Kontributor: Beni JoPenulis: Beni JoEditor: Alexander Haryanto